Pongkinangolngolan alias Tuanku Rao adalah anak hasil
perkawinan incest antara putri
Sisingamangaraja IX, Putri Gana Sinambela dengan adik Sisingamangaraja IX, Pangeran
Gindoporang Sinambela. Gana seharusnya
memangil uda pada Gindoporang, sedangkan Gindoporang memangil Gana boru. (Tuanku Rao, hal. 59. M.O
Parlindungan, 2007).
Karena aib itu, Ompu Sohalompoan (Sisingamangaraja IX)
terpaksa mengusir mereka. Keduanya lari
misir, menyelamatkan diri ke Singkil,
Aceh. Disana lahirlah Pongkinangolgolan yang berarti menunggu
terlalu lama dipengungsian. Pangeran
Gindoporang Sinambela bergabung dengan
pasukan Aceh, berganti nama menjadi Muhammad Zainal Amiruddin, dan menikahi putri raja Barus. Sejak itu, Gana
Sinambela membesarkan putranya seorang
diri. Sepuluh tahun kisah itu, Sisingamangaraja IX wafat dan digantikan anaknya, Ompu Tuan Nabolon,
adik laki-laki dari Gana Sinambela
menjadi Sisingamangaraja X. Aib itu sudah dilupakan, Gana dan Pongkinangolgolan diundang kembali pulang ke
Bakkara.
Gana Sinambela sendiri adalah kakak dari Singamangaraja X.
Walaupun terlahir sebagai anak di luar
nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi
dan memanjakan keponakannya. Untuk memberikan nama marga, tidak
mungkin diberikan marga Sinambela,
karena ibunya bermarga Sinambela. Namun nama
marga sangat penting bagi orang Batak, sehingga Singamangaraja X
mencari jalan keluar untuk masalah ini.
Singamangaraja X mempunyai adik perempuan lain, Putri Sere
Sinambela, yang menikah dengan Jongga
Simorangkir, seorang hulubalang. Dalam suatu
upacara adat, secara pro forma Pongkinangolngolan "dijual"
kepada Jongga Simorangkir, dan
Pongkinangolngolan kini bermarga Simorangkir.
Namun, kehadiran mereka tidak direstui tiga orang datu bolon
(dukun) yang dipimpin oleh Datu
Amantagor Manullang. Dukun itu meramalkan, bahwa Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh
Singamangaraja X. Sesuai hukum adat,
Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati pada bere (keponakan) yang disayanginya. Tetapi
Singamangara X tidak tega, lalu membuat
sandiwara, Dia memutuskan, bahwa Pongkinangolngolan tidak dipancung kepalanya, melainkan akan
ditenggelamkan di Danau Toba. Dia diikat
pada sebatang kayu dan badannya dibebani dengan batu-batu supaya tenggelam.
Di tepi Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan
pemeriksaan terakhir, namun dengan
menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia
melonggarkan tali yang mengikat Pongkinangolngolan, sambil menyelipkan satu kantong kulit berisi mata uang perak ke
balik pakaian Pongkinangolngolan.
Perbuatan ini tidak diketahui oleh para Datu, karena selain tertutup tubuhnya, juga tertutup tubuh
Putri Gana Sinambela yang memeluk dan
menangisi putra kesayangannya. Sebab itulah kebencian Pongkinangolngolan terhadap agama asli Batak
(Malim) terpantik.
Kemudian, Pongkinangolngolan dibawa solu (rakit) ke tengah
danau dan dijatuhkan ke dalam air.
Setelah berhasil melepaskan batu-batu dari
tubuhnya, dengan berpegangan pada kayu, Pongkinangolngolan terapung hingga arus air membawanya terdampar di
sungai Asahan. Dimana kemudian di dekat
Narumonda, ia ditolong dan diangkat menjadi anak oleh seorang nelayan bernama Lintong Marpaung.
Kemudian ia merantau ke Sipirok/Angkola. Di sinilah Pongkinangolngolan mulai mengetahui adanya
dendam kesumat Marga Siregar terhadap
dinasti Singamangaraja, sebagaimana Pongkinangolngolan sendiri memiliki dendam terhadap orang-orang yang
telah membuang dirinya dari istana
Singamangaraja dan mengalami getirnya hidup, terpisah dari ibu kandung untuk selamanya.
Pongkinangolngolan memutuskan untuk pergi ke Minangkabau,
karena selalu kuatir suatu hari akan
dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi
hukuman mati oleh Raja Batak.
Di Minangkabau, ia mula-mula bekerja pada Datuk Bandaharo
Ganggo sebagai perawat kuda. Pada waktu
itu, tiga orang tokoh Islam Mazhab
Hambali, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik baru
kembali dari Mekkah dan sedang melakukan
penyebaran Mazhab Hambali di
Minangkabau, yang menganut aliran Syi'ah.
Haji Piobang dan Haji Sumanik pernah menjadi pewira di
pasukan kavaleri Janitsar Turki. Gerakan
mereka mendapat dukungan dari Tuanku Nan
Renceh, yang mempersiapkan tentara untuk melaksanakan gerakan Paderi, termasuk rencana untuk mengIslamkan
Mandailing.
Tuanku Nan Renceh yang adalah seorang teman Datuk Bandaharo
Ganggo, mendengar mengenai nasib dan
silsilah dari Pongkinangolngolan. Ia
memperhitungkan, bahwa Pongkinangolngolan yang adalah keponakan Singamangaraja X dan sebagai cucu di dalam
garis laki-laki dari Singamangaraja
VIII, tentu sangat baik untuk digunakan dalam rencana merebut dan mengIslamkan Tanah Batak. Oleh
karena itu, ia meminta kawannya, Datuk
Bandaharo agar menyerahkan Pongkinangolngolan kepadanya untuk dididik olehnya.
Pada 9 Rabiu'ulawal 1219 H (tahun 1804 M), dengan
syarat-syarat Khitanan dan Syahadat,
Pongkinangolngolan diIslamkan dan diberi nama
Umar Katab oleh Tuanku Nan Renceh. Nama tersebut diambil dari nama seorang Panglima Tentara Islam, Umar Chattab.
Namun terselip juga asal usul Umar
Katab, karena bila dibaca dari belakang, maka akan terbaca: Batak!
Umar Katab dikirim ke Mekkah dan Syria untuk menimba ilmu
agama. Di sana ia mengikuti pendidikan
kemiliteran sebagai kavaleri Janitsar
Turki.
Umar Katab alias Pongkinangolngolan Sinambela kembali dari
Mekkah dan Syria tahun 1815. Oleh Tuanku
Nan Renceh ia diangkat menjadi perwira
tentara Paderi dan diberi gelar Tuanku Rao. Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti
Belanda, yaitu menggunakan orang Batak
untuk menyerang Tanah Batak.
Penyerbuan Paderi ke Tanah Batak berawal dari dendam Tuanku
Rao karena terbuang dan mengalami nasib
yang pahit seperti yang telah diuraikan
di atas ditambah dendam marga Siregar terhadap Dinasti Singamangaraja.
Kedua dendam itu, yakni dendam marga Siregar dan dendam
Tuanku Rao membara menjadi satu.
Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H
(tahun 1816 M), dengan penyerbuan
terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan oleh Marga Lubis. 5.000 orang dari pasukan
berkuda ditambah 6.000 infanteri
meluluhlantakkan benteng Muarasipongi, dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorangpun.
Kekejaman ini sengaja dilakukan dan
disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukkan. Setelah itu, satu persatu
wilayah Mandailing ditaklukkan oleh
pasukan Paderi, yang dipimpin oleh Tuanku Rao dan Tuanku Lelo, yang adalah putra-putra Batak sendiri.
Selain kedua nama ini, ada sejumlah orang Batak yang telah
masuk Islam, ikut pasukan Paderi
menyerang Tanak Batak, yaitu Tuanku Tambusai
(Harahap), Tuanku Sorik Marapin (Nasution), Tuanku Mandailing
(Lubis), Tuanku Asahan (Mansur
Marpaung), Tuanku Kotapinang (Alamsyah Dasopang), Tuanku Daulat (Harahap), Tuanku Patuan
Soripada (Ahmad bin Baun Siregar),
Tuanku Saman (Hutagalung), Tuanku Ali Sakti (Jatengger Siregar), Tuanku Junjungan (Tahir Daulay) dan
Tuanku Marajo (Harahap).
Penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara,
dilaksanakan tahun 1819. Orang-orang
Siregar Salak dari Sipirok dipimpin oleh
Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang (membonceng Tentara Padri), guna memenuhi sumpah Togar Natigor
Siregar dan membalas dendam kepada
keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X.
Tuanku Rao menangis ketika membaca surat-surat dari
Sisingamangaraja X yang isinya
memberitahukan bahwa ibundanya sudah lama tiada, meninggal dunia dalam dukacita menantikan kedatangannya.
Tuanku Rao tidak sampai hati untuk
memimpin serangan ke Bakkara. Ia hanya memberikan komando dari markas di Siborong-borong kepada Achmad
bin Baun Siregar dan Jatengger Siregar.
Penyerbuan pasukan Paderi terhenti tahun 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes.
Dari 150.000 orang tentara Paderi yang
memasuki Tanah Batak tahun 1818, hanya tersisa sekitar 30.000 orang dua tahun kemudian. Sebagian
terbesar bukan tewas di medan
petempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit.
Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, tahun 1820 Tuanku Rao
bermaksud menarik mundur seluruh
pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga
rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku
Rao bersama pasukannya tetap di Tanah
Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda.
Ketika keadaan bertambah parah, akhirnya Tuanku Rao
melakukan pembangkangan terhadap
perintah Tuanku Imam Bonjol, dan memerintahkan
sisa pasukannya keluar dari Tanah Batak Utara dan kembali ke Selatan.
Enam dari panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu
Tuanku Mandailing, Tuanku Asahan, Tuanku
Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali
Sakti dan Tuanku Junjungan, tahun 1820 memberontak terhadap penindasan asing dari Bonjol/Minangkabau dan
menanggalkan gelar Tuanku yang dipandang
sebagai gelar Minangkabau. Bahkan Jatengger Siregar hanya menyandang gelar tersebut selama tiga hari.
Mereka sangat marah atas perilaku
pasukan Paderi yang merampok dan menguras Tanah Batak yang telah ditaklukkan. Namun hanya karena ingin
balas dendam kepada Singamangaraja,
Jatengger Siregar menahan diri sampai terlaksananya sumpah Togar Natigor Siregar dan ia behasil
membunuh Singamangaraja X.
Mansur Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang
(Tuanku Kotapinang) dengan tegas
menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada Tuanku
Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mendirikan kesultanan/kerajaan sendiri. Marpaung
mendirikan Kesultanan Asahan dan
mengangkat dirinya menjadi sultan, sedangkan Dasopang mendirikan Kerajaan Kotapinang, dan ia menjadi raja.
Tuanku Rao tewas ketika melakukan serangan bunuh diri
untuk mengalihkan perhatian pasukan
artileri Belanda yang waktu itu sedang
memburu Pasukan Tuanku Imam Bonjol dalam pertempuran di Air bangis pada
5 September 1821.