Senin, 18 Maret 2013

Pongki na ngolngolan

Pongkinangolngolan alias Tuanku Rao adalah anak hasil perkawinan  incest antara putri Sisingamangaraja IX, Putri Gana Sinambela dengan  adik Sisingamangaraja IX, Pangeran Gindoporang Sinambela. Gana  seharusnya memangil uda pada Gindoporang, sedangkan Gindoporang memangil  Gana boru. (Tuanku Rao, hal. 59. M.O Parlindungan, 2007).

Karena aib itu, Ompu Sohalompoan (Sisingamangaraja IX) terpaksa  mengusir mereka. Keduanya lari misir, menyelamatkan diri ke Singkil,  Aceh. Disana lahirlah Pongkinangolgolan yang berarti menunggu terlalu  lama dipengungsian. Pangeran Gindoporang Sinambela bergabung dengan  pasukan Aceh, berganti nama menjadi Muhammad Zainal Amiruddin, dan  menikahi putri raja Barus. Sejak itu, Gana Sinambela membesarkan  putranya seorang diri. Sepuluh tahun kisah itu, Sisingamangaraja IX wafat  dan digantikan anaknya, Ompu Tuan Nabolon, adik laki-laki dari Gana  Sinambela menjadi Sisingamangaraja X. Aib itu sudah dilupakan, Gana dan  Pongkinangolgolan diundang kembali pulang ke Bakkara.

Gana Sinambela sendiri adalah kakak dari Singamangaraja X. Walaupun  terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi  dan memanjakan keponakannya. Untuk memberikan nama marga, tidak mungkin  diberikan marga Sinambela, karena ibunya bermarga Sinambela. Namun nama  marga sangat penting bagi orang Batak, sehingga Singamangaraja X mencari  jalan keluar untuk masalah ini.

Singamangaraja X mempunyai adik perempuan lain, Putri Sere Sinambela,  yang menikah dengan Jongga Simorangkir, seorang hulubalang. Dalam suatu  upacara adat, secara pro forma Pongkinangolngolan "dijual" kepada  Jongga Simorangkir, dan Pongkinangolngolan kini bermarga Simorangkir.

Namun, kehadiran mereka tidak direstui tiga orang datu bolon (dukun)  yang dipimpin oleh Datu Amantagor Manullang. Dukun itu meramalkan, bahwa  Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh Singamangaraja X. Sesuai  hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati pada bere  (keponakan) yang disayanginya. Tetapi Singamangara X tidak tega, lalu  membuat sandiwara, Dia memutuskan, bahwa Pongkinangolngolan tidak  dipancung kepalanya, melainkan akan ditenggelamkan di Danau Toba. Dia  diikat pada sebatang kayu dan badannya dibebani dengan batu-batu supaya  tenggelam.

Di tepi Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan pemeriksaan  terakhir, namun dengan menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia  melonggarkan tali yang mengikat Pongkinangolngolan, sambil menyelipkan  satu kantong kulit berisi mata uang perak ke balik pakaian  Pongkinangolngolan. Perbuatan ini tidak diketahui oleh para Datu, karena  selain tertutup tubuhnya, juga tertutup tubuh Putri Gana Sinambela yang  memeluk dan menangisi putra kesayangannya. Sebab itulah kebencian  Pongkinangolngolan terhadap agama asli Batak (Malim) terpantik.

Kemudian, Pongkinangolngolan dibawa solu (rakit) ke tengah danau dan  dijatuhkan ke dalam air. Setelah berhasil melepaskan batu-batu dari  tubuhnya, dengan berpegangan pada kayu, Pongkinangolngolan terapung  hingga arus air membawanya terdampar di sungai Asahan. Dimana kemudian  di dekat Narumonda, ia ditolong dan diangkat menjadi anak oleh seorang  nelayan bernama Lintong Marpaung.

Kemudian ia merantau ke Sipirok/Angkola. Di sinilah  Pongkinangolngolan mulai mengetahui adanya dendam kesumat Marga Siregar  terhadap dinasti Singamangaraja, sebagaimana Pongkinangolngolan sendiri  memiliki dendam terhadap orang-orang yang telah membuang dirinya dari  istana Singamangaraja dan mengalami getirnya hidup, terpisah dari ibu  kandung untuk selamanya.

Pongkinangolngolan memutuskan untuk pergi ke Minangkabau, karena  selalu kuatir suatu hari akan dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi  hukuman mati oleh Raja Batak.

Di Minangkabau, ia mula-mula bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo  sebagai perawat kuda. Pada waktu itu, tiga orang tokoh Islam Mazhab  Hambali, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik baru kembali  dari Mekkah dan sedang melakukan penyebaran Mazhab Hambali di  Minangkabau, yang menganut aliran Syi'ah.

Haji Piobang dan Haji Sumanik pernah menjadi pewira di pasukan  kavaleri Janitsar Turki. Gerakan mereka mendapat dukungan dari Tuanku  Nan Renceh, yang mempersiapkan tentara untuk melaksanakan gerakan  Paderi, termasuk rencana untuk mengIslamkan Mandailing.

Tuanku Nan Renceh yang adalah seorang teman Datuk Bandaharo Ganggo,  mendengar mengenai nasib dan silsilah dari Pongkinangolngolan. Ia  memperhitungkan, bahwa Pongkinangolngolan yang adalah keponakan  Singamangaraja X dan sebagai cucu di dalam garis laki-laki dari  Singamangaraja VIII, tentu sangat baik untuk digunakan dalam rencana  merebut dan mengIslamkan Tanah Batak. Oleh karena itu, ia meminta  kawannya, Datuk Bandaharo agar menyerahkan Pongkinangolngolan kepadanya  untuk dididik olehnya.

Pada 9 Rabiu'ulawal 1219 H (tahun 1804 M), dengan syarat-syarat  Khitanan dan Syahadat, Pongkinangolngolan diIslamkan dan diberi nama  Umar Katab oleh Tuanku Nan Renceh. Nama tersebut diambil dari nama  seorang Panglima Tentara Islam, Umar Chattab. Namun terselip juga asal  usul Umar Katab, karena bila dibaca dari belakang, maka akan terbaca:  Batak!

Umar Katab dikirim ke Mekkah dan Syria untuk menimba ilmu agama. Di  sana ia mengikuti pendidikan kemiliteran sebagai kavaleri Janitsar  Turki.

Umar Katab alias Pongkinangolngolan Sinambela kembali dari Mekkah dan  Syria tahun 1815. Oleh Tuanku Nan Renceh ia diangkat menjadi perwira  tentara Paderi dan diberi gelar Tuanku Rao. Ternyata Tuanku Nan Renceh  menjalankan politik divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan  orang Batak untuk menyerang Tanah Batak.

Penyerbuan Paderi ke Tanah Batak berawal dari dendam Tuanku Rao  karena terbuang dan mengalami nasib yang pahit seperti yang telah  diuraikan di atas ditambah dendam marga Siregar terhadap Dinasti  Singamangaraja.

Kedua dendam itu, yakni dendam marga Siregar dan dendam Tuanku Rao membara menjadi satu.

Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (tahun 1816  M), dengan penyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan  oleh Marga Lubis. 5.000 orang dari pasukan berkuda ditambah 6.000  infanteri meluluhlantakkan benteng Muarasipongi, dan seluruh penduduknya  dibantai tanpa menyisakan seorangpun. Kekejaman ini sengaja dilakukan  dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan  penaklukkan. Setelah itu, satu persatu wilayah Mandailing ditaklukkan  oleh pasukan Paderi, yang dipimpin oleh Tuanku Rao dan Tuanku Lelo, yang  adalah putra-putra Batak sendiri.

Selain kedua nama ini, ada sejumlah orang Batak yang telah masuk  Islam, ikut pasukan Paderi menyerang Tanak Batak, yaitu Tuanku Tambusai  (Harahap), Tuanku Sorik Marapin (Nasution), Tuanku Mandailing (Lubis),  Tuanku Asahan (Mansur Marpaung), Tuanku Kotapinang (Alamsyah Dasopang),  Tuanku Daulat (Harahap), Tuanku Patuan Soripada (Ahmad bin Baun  Siregar), Tuanku Saman (Hutagalung), Tuanku Ali Sakti (Jatengger  Siregar), Tuanku Junjungan (Tahir Daulay) dan Tuanku Marajo (Harahap).

Penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara, dilaksanakan  tahun 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin oleh  Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang (membonceng Tentara  Padri), guna memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam  kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X.

Tuanku Rao menangis ketika membaca surat-surat dari Sisingamangaraja X  yang isinya memberitahukan bahwa ibundanya sudah lama tiada, meninggal  dunia dalam dukacita menantikan kedatangannya. Tuanku Rao tidak sampai  hati untuk memimpin serangan ke Bakkara. Ia hanya memberikan komando  dari markas di Siborong-borong kepada Achmad bin Baun Siregar dan  Jatengger Siregar.



Penyerbuan pasukan Paderi terhenti tahun 1820, karena berjangkitnya  penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara  Paderi yang memasuki Tanah Batak tahun 1818, hanya tersisa sekitar  30.000 orang dua tahun kemudian. Sebagian terbesar bukan tewas di medan  petempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit.

Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, tahun 1820 Tuanku Rao bermaksud  menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga  rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun  Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya  tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda.

Ketika keadaan bertambah parah, akhirnya Tuanku Rao melakukan  pembangkangan terhadap perintah Tuanku Imam Bonjol, dan memerintahkan  sisa pasukannya keluar dari Tanah Batak Utara dan kembali ke Selatan.

Enam dari panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu Tuanku  Mandailing, Tuanku Asahan, Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali  Sakti dan Tuanku Junjungan, tahun 1820 memberontak terhadap penindasan  asing dari Bonjol/Minangkabau dan menanggalkan gelar Tuanku yang  dipandang sebagai gelar Minangkabau. Bahkan Jatengger Siregar hanya  menyandang gelar tersebut selama tiga hari. Mereka sangat marah atas  perilaku pasukan Paderi yang merampok dan menguras Tanah Batak yang  telah ditaklukkan. Namun hanya karena ingin balas dendam kepada  Singamangaraja, Jatengger Siregar menahan diri sampai terlaksananya  sumpah Togar Natigor Siregar dan ia behasil membunuh Singamangaraja X.

Mansur Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang (Tuanku  Kotapinang) dengan tegas menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada Tuanku  Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mendirikan  kesultanan/kerajaan sendiri. Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan dan  mengangkat dirinya menjadi sultan, sedangkan Dasopang mendirikan  Kerajaan Kotapinang, dan ia menjadi raja.

Tuanku Rao tewas ketika melakukan serangan bunuh diri untuk  mengalihkan perhatian pasukan artileri Belanda yang waktu itu sedang  memburu Pasukan Tuanku Imam Bonjol dalam pertempuran di Air bangis pada 5  September 1821.